Gus Nadir Sebut Kenaikan Iuran BPJS Bertentangan dengan Putusan MA

BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan. [foto : Inisiatifnews]

Inisiatifnews.comPolemik tentang kebijakan Presiden Joko Widodo yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan di semua kelas terjadi, apalagi pasca terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2019 tengang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.

Salah satu yang kontra dengan kebijakan Presiden tersebut adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Nadisyah Hosen.

Bacaan Lainnya

Menurut pria yang karib disapa Gus Nadir itu, bahwa kebijakan Presiden tersebut bertentangan dengan amar putusan dari hakim Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tentang kebijakan Presiden sebelumnya tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan 100 persen.

“Menurut saya keputusan Jokowi yang terbaru ini bertentangan dengan pertimbangan hukum MA sehingga kenaikan iuran BPJS bisa digugat kembali ke MA,” kata Gus Nadir dalam kicauan akun twitternya, @na_dis, Rabu (13/5/2020).

Di dalam amar putusan Nomor 7 P/HUM/2020 tersebut, Mahkamah Agung (MA) menyatakan pandangan mereka terkait dengan dikabulkannya gugatan KPCDI atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan, lantaran pihak pengelola jaminan sosial melakukan kesalahan dalam pengelolaan BPJS Kesehatan. Sehingga dampak dari beban anggaran karena defisit yang dialami lembaga pengelolaan jaminan sosial tersebut tidak bisa dibebankan kepada masyarakat yang notabane adalah peserta jaminan sosial tersebut.

Berikut adalah pandangan MA ;

1. Ketidakseriusan Kementerian-kementerian terkait dalam berkoordinasi  antara satu dengan yang lainnya dalam menjalankan fungsi dan  tugasnya masing-masing yang berhubungan dengan  penyelenggaraan program jaminan sosial ini;

2. Ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional, karena hingga saat ini pun boleh jadi  masyarakat belum mengetahui institusi apa itu;

3. Adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS;

4. Mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan, sehingga menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi;

Kemudian untuk pendapat MA dari aspek filosofis juga menyebutkan, bahwa Perpres Nomor 75 Tahun 2019 melanggar asas keadilan.

“Bahwa dengan terbuktinya konsideran faktual Perpres No. 75 Tahun 2019, yang tidak mempertimbangkan suasana kebhatinan masyarakat dalam bidang ekonomi saat ini, maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan (2) yang secara sepihak menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP guna menutupi defisit dana BJPS, diaggap telah melanggar asas pemberian pertimbangan secara adil dan berimbang (audi et alterem partem);” tulis dalam putusan MA dikutip oleh Inisiatifnews.com.

“Bahwa dengan demikian, pada hakikatnya kenaikan iuran BPJS sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan (2) tersebut, dalam kondisi ekonomi global yang sedang tidak menentu saat ini, dapat  dinilai sebagai aturan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan tuntutan rasa keadilan,” sambungnya.

Atas dasar itu, Gus Nadir beranggapan bahwa konteks yang diberatkan oleh Mahkamah Agung bukan tentang besarnya iuran BPJS, melainkan adanya pekerjaan rumah (PR) besar tentang pengelolaan lembaga penyelenggara jaminan sosial itu sendiri.

“Yang dipersoalkan dalam argumen MA bukan besar atau kecilnya prosentase kenaikan iuran BPJS tetapi naiknya iuran itu karena kesalahan kelola BPJS. Cari solusi lain untuk mengoreksinya, bukan dengan membebankan kepada rakyat. Begitu kata MA,” jelas Gus Nadir.

Oleh karena itu, kebijakan Presiden Joko Widodo yang menaikkan kembali iuran BPJS dengan dalil telah mempertimbangkan amar putusan MA tersebut tidak tepat, karena justru kebijakan itu telah melanggar putusan dari lembaga yudikatif tertinggi di Indonesia itu.

“Bukan besar-kecilnya kenaikan iuran, tapi alasan dan konteks kenaikannya itu tidak pas. Sekian,” tutupnya.

Besaran iuran BPJS Kesehatan ;

Berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, Pemerintah Pusat menaikkan biaya iuran BPJS Kesehatan per tanggal 1 Juli 2020.

Untuk kelas I : Rp 150.000
Untuk kelas II : Rp 100.000
Untuk kelas III : Rp 25.500 (tahun 2020), Rp 35.000 (tahun 2021).

Sementara pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019, pemerintah sempat menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Antara lain ;

Untuk kelas I : Rp 160.000
Untuk kelas II : Rp 110.000
Untuk kelas III : Rp 42.000

Jika dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, yakni di Pasal 34 Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, para peserta dibebankan biaya, antara lain ;

Untuk kelas I : Rp 80.000
Untuk kelas II : Rp 51.000
Untuk kelas III : Rp 25.500

[NOE]

Temukan kami di Google News.

Pos terkait