Iuran BPJS Kesehatan Naik, IPI : Iki Karepe Piye Pak Jokowi ?

karyono IPI
Karyono Wibowo.

Inisiatifnews.com Direktur Eksekutif Indonesian Public Intitute (IPI), Karyono Wibowo menyebut bahwa kebijakan Presiden Joko Widodo yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Covid-19 telah membuat banyak rakyat Indonesia kecewa.

“Sikap pemerintah yang kembali menaikkan iuran BPJS di tengah situasi pandemi COVID-19 tentu membuat rakyat kecewa,” kata Karyono kepada Inisiatifnews.com, Kamis (14/5/2020).

Bacaan Lainnya

Dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan yang dipersoalan itu, tercantum nominal iuran BPJS Kesehatan yang berlaku per tanggal 1 Juli. Dimana untuk kelas I sebesar Rp 150.000, kelas II sebesar Rp 100.000 dan kelas III sebesar Rp 25.500 untuk tahun 2020 dan di tahun 2021 naik menjadi Rp 35.000.

Walau ada perubahan jumlah angka kenaikan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 dari yang tercantum dalam Perppres 75 Tahun 2019 yang telah kalah dalam gugatan di Mahkamah Agung (MA), akan tetapi kenaikan iuran BPJS Kesehatan tetap membebani rakyat di tengah situasi sulit seperti saat ini.

“Hal itu dirasakan masih memberatkan masyarakat. Terlebih saat ini masih dalam situasi krisis wabah Covid-19,” jelasnya.

Kemudian, Karyono juga menilai sekalipun alasan yang dikemukakan oleh pemerintah terkait kenaikan iuran BPJS adalah demi keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan terjaminnya pelayanan kesehatan masyarakat, tapi tetap saja akan mengusik perasaan masyarakat Indonesia secara luas.

“Dan orang-orang akan bertanya-tanya dalam hati, lho iki karepe piye pak Jokowi? (Lho ini maksudnya bagaimana Pak Jokowi? -jawa red),” pungkasnya.

Selain itu, berdasarkan hematnya, bahwa keputusan dinaikkannya premi BPJS Kesehatan tersebut sangat wajar ketika menuai banyak kritikan dari banyak kalangan. Hal ini lantaran kebijakan tersebut dinilai telah mencederai rasa keadilan, terlebih dibuat dalam situasi sulit seperti saat ini.

Bahkan Karyono menyebut, kebijakan Presiden Joko Widodo itu pun terkesan blunder di dalam masa kepemimpinannya. Situasi tersebut juga berdampak terhadap pamor Jokowi sendiri yang berpotensi akan terjadi penurunan secara drastis di periode kedua pemerintahannya.

“Kebijakan yang tidak populis ini telah menambah daftar sejumlah langkah blunder para pembantu presiden. Dampaknya, presiden kena getahnya,” ujarnya.

Maka dari itu, ia nilai bahwa para jajaran di Kabinet Indonesia Maju perlu dilakukan evaluasi. “Para pembantu presiden perlu ditertibkan agar tidak menjadi beban presiden terus menerus,” tuturnya.

Kenaikan iuran BPJS ditolak MA

Perlu diketahui, bahwa berdasarkan amar putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020, ada persoalan yang akhirnya membuat dibatalkannya Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Dimana kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen dari iuran sebelumnya bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP) BPJS Kesehatan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dibatalkan.

Masih dalam amar putusan MA tersebut, bahwa substansi dari Putusan MA tersebut adalah memerintahkan kepada pihak pemerintah agar tidak membebani masyarakat (peserta BPJS) dengan menaikkan iuran di tengah lemahnya daya beli masyarakat akibat pelambatan perekonomian global, sementara di sisi lain pelayanan BPJS Kesehatan belum membaik.

Dua hal pokok di atas itulah yang menjadi dasar pertimbangan putusan pembatalan kenaikan iuran BPJS. Maka seharusnya, pemerintah melaksanakan Putusan MA dengan memperhatikan dua hal pokok yaitu memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat, terlebih di tengah pandemi dan harus memperbaiki sistem pelayanan serta manajemen BPJS sebelum membuat kebijakan tentang kenaikan iuran. [NOE]

Temukan kami di Google News.

Pos terkait