Apresiasi, Mahfud MD Dukung Penegakan Hukum tidak Tumpul ke Oligarki atau Petinggi Koalisi

Pakar hukum tata negara, Mahfud MD menilai, penegakan hukum belakangan sudah mengalami banyak kemajuan. Salah satunya ditunjukkan lewat kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) yang tidak bisa dipungkiri melakukan langkah-langkah membongkar kasus-kasus besar dan banyak memberi harapan kepada publik.

Ia melihat, Kejagung mampu bersikap lebih independen, lebih progresif, profesional dan terpercaya yang terlihat pula dari survei-survei kepuasan publik. Tapi, Mahfud mengingatkan, masalahnya penanganan kasus-kasus yang biasanya dimulai secara menggelegar masih kerap terhenti jika menyangkut dua entitas.

“Satu, menghadapi oligarki, kalau sudah nyebut oligarki, ini yang terlibat perusahaan ini, si a, si b, atau menghadapi petinggi koalisi, bukan menghadapi oligarki tapi pejabat di pemerintahan terlibat korupsi terhenti di situ, meskipun itu Kejaksaan Agung tampaknya sudah direstui oleh Presiden,” kata Mahfud dalam podcast Terus Terang Mahfud MD di kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (15/04/2025).

Hal itu membuat banyak sekali kasus-kasus hukum terhenti di orang yang terlanjur ditangkap atau di orang kecil yang terlanjur ditersangkakan. Misal, Pertamina, tampak diteruskan karena sudah terlanjur ada yang ditersangkakan, tapi lagi-lagi tidak sampai ke atas diduga karena menyangkut entitas-entitas tertentu.

“Ya sudah teruskan saja, sudah terlanjur ditersangkakan tapi jangan naik dulu ke atas, sekarang kan tidak naik lagi nah, itu menyangkut oligarki dan menyangkut petinggi koalisi, kalau bukan koalisi pejabat tinggi, mungkin menteri, mungkin apa, kalau sudah mau menyentuh itu berhenti,” ujar Mahfud.

Contoh lain, kasus Tom Lembong yang dalam surat perintah penyidikan jelas disidik penyalahgunaan impor gula periode 2015-2023. Sayang, yang diajukan ke pengadilan hanya 2015-2016 atau 9 bulan periode Tom, tapi sesudahnya sampai 2023 tidak ada penjelasan Kejagung diduga karena menyangkut entitas tersebut.

Padahal, kebijakan yang sama dilakukan menteri-menteri setelah Tom mulai dari Enggartiasto Lukita, Agus Suparmanto, Muhammad Lutfi, dan Zulkifli Hasan. Sebaliknya, dalam kasus Pertamina, kasus yang disebut Kejagung disidik dalam periode 2018-2023, hanya melahirkan 9 tersangka yang hanya pada periode 2023.

Mahfud merasa, itu semua terjadi karena jika penyidikan maju ke depan akan menyeret oligarki, tapi jika mundur ke belakang akan menyeret pejabat-pejabat tinggi. Karenanya, ia menegaskan, penegakan hukum sudah bagus, tapi political will yang masih jadi pertanyaan besar, baik dari Kejagung maupun dari Presiden.

“Menurut saya Kejagung yang secara teknis dan melaksanakan kerja-kerja hukumnya, tapi saya tahu pasti Kejagung rikuh sebelum mendapat perintah langsung dari Presiden, ini ambil, yang di atas-atas itu, atau malah Presiden seharusnya lebih proaktif, ini ambil, kenapa ini masyarakat bicara gini kamu diam saja,” kata Mahfud.

Kondisi serupa terjadi dalam kasus judi online (judol) yang begitu sudah menyebut nama pejabat tinggi setingkat menteri tidak ada lagi kabarnya. Lalu, kasus mafia peradilan yang tersangkanya tidak bertambah walau sudah disebut Zarof Ricar selama 10 tahun setelah pensiun masih melakukan praktik makelar kasus.

Selain itu, ia menambahkan, ada kasus pagar laut yang sudah jelas dugaan korupsinya karena sudah ada ratusan sertifikat, tapi sampai sekarang tidak ada penyelidikan lebih lanjut soal kolusi atau korupsi dengan alasan tidak ada kerugian negara. Padahal, Mahfud menekankan, korupsi tidak harus ada kerugian negara.

“Sudah jelas itu dugaan korupsinya, patut diguga, bagaimana ratusan sekian sertifikat ke luar tanpa ada kolusi, pasti kolusi, dan kolusi itu adalah permulaan dari korupsi. Kan mestinya disidik ke situ, tapi apa, kepolisian hanya bilang pemalsuan, terus dibilang karena kalau mau dibawa ke korupsi kan tidak ada kerugian negara, loh korupsi itu ada 7 jenis, hanya satu yang harus ada kerugian negara,” ujar Mahfud. (*)

Temukan kami di Google News.

Pos terkait